Kenali Perilaku Social Climber yang Diam-diam Merugikan

Kenali Perilaku Social Climber yang Diam-diam Merugikan

Penulis: Ossy | Editor: Opie

Ditinjau oleh: dr. Tommy

Terakhir ditinjau: 16 Juni 2023

 

Pernahkah Anda mendengar istilah ‘pansos’? Pansos adalah singkatan dari perilaku panjat sosial atau social climbing yang acap kali merugikan.  Dahulu istilah social climber diberikan pada mereka yang berusaha meningkatkan status sosial dengan meningkatkan taraf hidup.

Namun, panjat sosial kini bergeser makna. Panjat sosial adalah fenomena di mana seseorang ingin ‘meningkatkan’ status sosialnya secara instan.

Baca Juga: Ciri-ciri Toxic People dan Cara Menghadapinya

Mengenal Lebih dalam Tentang Fenomena Social Climber

Panjat sosial seringkali dikaitkan pada mereka yang memanfaatkan orang lain, barang, tempat, dan peristiwa untuk mendapatkan perhatian, keuntungan, serta meningkatkan status sosial.

Misal, memaksa diri membeli kopi mahal ketika berkumpul bersama teman, sedangkan di kost hanya makan mie instan. Panjat sosial benar-benar mengamalkan ‘biar tekor asal kesohor’.

Panjat sosial tidak hanya merebak di dunia nyata, tetapi juga dunia maya. Para pengguna media sosial tampak berlomba-lomba menaikkan status sosial mereka dengan berbagai cara.

Semua semata untuk mendapatkan pengakuan bahwa status sosial mereka meningkat. Meskipun, apa yang ditampilkan kerap tak sebanding dengan apa yang dimiliki, termasuk ekonomi.

Penelitian Yudhistira (2020) menyebutkan seorang responden terus membuntuti teman kayanya agar bisa berlibur gratis dan memajang fotonya di media sosial. Bahkan, ada yang ke kafe hanya untuk meng-update Insta story tanpa membeli minuman.

Penelitian Anindhita (2018) pun menemukan tiga responden yang rela membeli segala barang mewah, tetapi memakai pakaian lusuh, bolong, dan makan seadanya di rumah.

Penyebab Seseorang Menjadi Social Climber

Terdapat beberapa hal yang memengaruhi munculnya perilaku panjat sosial di sekitar kita. Berikut beberapa sebabnya:

  1. Pertumbuhan ekonomi negara memiliki dampak bagi masyarakat untuk meningkatkan status sosialnya.
  2. Lingkungan sosial individu, seperti kelompok pertemanan, gaya hidup keluarga dan teman, peran dan statusnya di masyarakat
  3. Kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan sosial dan aktualisasi diri.

Ciri-ciri Seorang Social Climber

Seseorang yang panjat sosial memiliki beberapa ciri. Berikut tanda-tanda yang biasa dimiliki oleh mereka yang gemar memanjat tangga strata sosial.

1. Seringkali memanipulasi keadaaan demi status dan pengakuan

Mengunjungi kafe berramai-ramai, memesan secangkir kopi, dan berfoto bergantian demi unggahan sosial media mungkin saja dilakukan sekelompok orang demi konten.

Mereka yang berperilaku panjat sosial kerap berusaha untuk terlihat jauh di atas keadaan aslinya saat ini.

Menipu dan berdusta untuk mendapatkan perhatian orang lain tidaklah baik. Karena sekali berdusta, kita membutuhkan dusta-dusta kecil lain untuk menutupinya. Sedang di satu sisi, bangkai yang tersembunyi, akan tercium juga akhirnya.

2. Berteman untuk meningkatkan status sosial

Bergabung dengan geng sosialita, berteman dengan kelompok penggiat hobi tertentu, termasuk berusaha berteman dengan ‘orang penting’ kerap dilakukan oleh social climber.

Terkadang, pemanjat sosial memilih pertemanan bukan berdasarkan kedekatan emosional, tetapi seberapa berpengaruh orang tersebut bagi dirinya, dan seberapa besar manfaat mereka demi popularitasnya.

Teman mereka mungkin banyak, tetapi tidak ada yang benar-benar dekat.

3. Sangat peduli akan penampilan

Mereka kerap berpenampilan mewah, memakai segala yang branded untuk mendapatkan pengakuan.

Meskipun, apa yang mereka pakai kadangkala tidak cocok. Namun, sesuatu yang sedang tren seringkali mereka kejar agar terkesan up-to-date dan mendapatkan perhatian.

Baca Juga : Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental Anak sejak Dini

4. Berusaha keras menggunakan barang mahal meski sebenarnya tak terjangkau

Penelitian Anindhita (2018)  menemukan bahwa pelaku panjat sosial kerap berbohong atau berhutang untuk mendapatkan sesuatu yang ingin mereka pakai.

Memakai barang palsu pun kadang dilakukan. Beberapa dari mereka terkadang juga menyampingkan kebutuhan primer demi kebutuhan tersier. Hal ini  tentunya kurang baik jika terus-menerus terjadi.

5. Senang memanfaatkan relasi demi keuntungan pribadi

Tak jarang, mereka berteman agar mendapatkan keuntungan tertentu, seperti selalu ditraktir dan diajak berlibur. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh seorang responden dari penelitian Yudhistira (2020).

Pemanjat sosial seringkali berusaha mendapatkan manfaat dari pertemanan. Semakin bermanfaat bagi hidupnya, semakin ia berusaha mendekatinya.

6. Kurang empati terhadap orang lain

Pemanjat sosial seringkali berpikir bahwa orang lain harus memiliki manfaat bagi hidupnya tanpa memperdulikan perasaan temannya. Hal ini pun membuat mereka kerap kurang bisa menaruh empati dengan teman-temannya.  Pemanjat sosial cenderung narsis, egois, dan kurang dapat berempati dengan orang lain.

7. Terkadang, menjadi munafik

Menggosipkan si X untuk mendapatkan hubungan yang baik dengan R, karena tahu R tidak menyukai X, bisa saja terjadi.

Mereka pun kerap bermulut manis agar Anda menyukainya, meskipun mungkin di balik layar mereka memaki-maki Anda.

8. Kurang bisa dipercaya dan diandalkan

Mereka bisa saja membatalkan janji dengan Anda, karena mendapatkan undangan menghadiri sesuatu yang lebih besar dampaknya terhadap hidup mereka.

Mereka juga sulit untuk diandalkan, karena bagi mereka, orang lainlah yang seharusnya mereka andalkan dan manfaatkan.

9. Mereka berusaha menjadi ‘Queen bee

Meskipun terlahir sebagai lebah biasa, mereka berusaha menjadi ratu lebah dalam lingkatan pertemanannya. Mereka berusaha mengatur mau ke mana hari ini, apa yang dipakai, hingga mungkin siapa yang akan mentraktir.

Pemanjat sosial pun tak segan mendepak teman yang ia anggap merugikan dan tak lagi bisa dimanfaatkan.

Menjadi pemanjat sosial mungkin menyenangkan bagi sebagian orang. Hal itu bisa jadi meningkatkan harga diri dan kepuasaan akan kebutuhan untuk diakui. Namun, selalu ada konsekuensi dari segala pilihan.

Lagipula, berusaha hidup sesuai dengan kemampuan dan berteman dengan tulus seringkali lebih membawa kedamaian.

Baca Juga: Sering Merasa Minder? Ini 6 Tips Membangun Rasa Percaya Diri

Sumber